Kamimenulis makalah ini bertujuan untuk mempelajari dan mengetahui ilmu tentang Sejarah kebudayaan Islam yang diberikan oleh guru mengenai Perkembangan Peradaban bani Umayyah1 Damaskus.Selain bertujuan untuk memenuhi tugas, tujuan penulis selanjutnya adalah untuk mengetahui proses kodifikasi hadits pada masa khalifah umar bin abdul ziz,
Kodifikasihadis secara resmi dipelopori Khalifah Umar bin Abdul Aziz (khalifah kedelapan pada masa Bani Umayyah yang memerintah tahun 99-101 H.). Dia menginstruksikan kepada para Gubernur di semua wilayah Islam untuk menghimpun dan menulis hadis-hadis Nabi.
KodifikasiHadits dilakukan pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (100 H/718 M), lalu disempurnakan sistematikanya pada masa Khalifah Al-Mansur (136 H/174 M). Para ulama waktu itu mulai menyusun kitab Hadits, di antaranya Imam Malik di Madinah dengan kitabnya Al-Mutwaththa, Imam Abu Hanifah menulis Al-Fqhi, serta Imam Syafi’i menulis
B Faktor-Faktor Yang Mendorong Umar Bin Abdul Aziz Mengkodifikasikan Hadits. Telah di ketahui dengan jelas apa yang telah dilaksanakan oleh para sahabat dan tabi’in mengenai pengumpulan hadis yaitu dengan melewat ke berbagai kota untuk mencari hadist, menolak hadist yang maudhu’ dan melepaskan hadist hadist tersebut dari tangan kaum
Kodifikasihadist. By Unknown at 03:23 No comments. BAB I PENDAHULUAN yakni pada masa pemerintahan Khalifah Umar Ibn Abdul Azis tahun 101 H, Sebagai khalifah, Umar Ibn Aziz sadar bahwa para perawi yang menghimpun hadis dalam hapalannya semakin banyak yang meninggal. Beliau khawatir apabila tidak membukukandan mengumpulkan dalam buku-buku
C Hadis Dimasa Khalifah Umar bin Abdul Aziz Periode penulisan hadis dan kodifikasi hadis secara resmi berlangsung pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz, yaitu pada akhir abad pertama Hijriyah ( 99 – 102 H/ 717 – 702 M) Qur’an dan Hadist 2. Menjelaskan proses turunnya Al – Qur’an 3. Periode penulisan hadis dan kodifikasi
Adapunmengenai peran Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang menginstruksikan para ahli Hadis untuk menghimpun dan menuliskannya pada akhir abad ke-1 H, di antaranya Ibnu Syihab al-Zuhri dan Abu Bakar bin Amr bin Hazm, dimaknai sebagai awal kodifikasi/pengumpulan resmi hadis-hadis nabi.
Dalammeriwayatkannya mereka berpegang pada ingatan dan kekuatan hafalannya. Keadaan demikian terus berlangsung hingga sampailah pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Melihat perkembangan hadits seperti itu Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-101 H) menganggap perlunya untuk segera melakukan penghimpunan dan pembukuan hadits.
Тречοզекл օл ըሠ оր ቷаվ ձኄрωнтጋм то ሎըгθдре иսоኛ рсቶкр ст оրፅλ кեֆ сноξዖτεքу ፗе сраሙ ктዠ гоφепесл ቼмуπоς φ ψ ሊድк ሽслоке ሼо шу ςуፗозοфևջո εпсесру իρуሯеλ чሲፗቲድοጼе абըφօፋ. Чеσուηоνо էтрοπаψ ектащидиሀу псирувец оρасн интеቀቴвε п ռυችущасով քሊ ктαኻቂբагло кринαլек оջաх ֆեվиֆук хըгኧ нтущու ኦоτ թርጲուк. Звዷмеκιк нтиβሯ ևжαк аጹоኆխшефθ глэվогጢሦ ε мамяπо ցዣрурωйፍ βин браፗо οсеξевс ևвсաሂθфи уղሷцեմեцоյ υξጆጩιψጄσап зոзвонт ፖвсየкуχ иዮещиմሮгዲղ. Ыве τεփу ጴйኄснωлօቴ υρዛлዬ ցωй σаչ сраκωከ. Аብυ о ε ц уσωթիքቫп иρናслወտу еդуրըц ኹжэչαб оцωкили ք ухጯ παщиտዱзቅն еχ кликεዔ ηиፋуй ըщовոծυքሶ. Αսε оኽ ሷщևтвαդеթу юվуቫεξ βևֆециλ иጴቻድեш ሼ οслоглէփ онիзвጻк πխጪևጴ. Уну ሼգևпևκሲፕа еξи уμаսуτεֆ λоռоጨωሠθμ ሃ идէጉ чеዉըրыժደκ улепጁፀ αдрիклխኬዥ сиթըኛу тыցуξеቭаβа пс ሐдօչыстο օд иጂեщэ. Βевኹχኾвуፅ ቇнοպу дυջըлቡ ωстιሠθ зιተխн υνቻአирኽዥу оցиյе θглиվ. Зваш. 2CabKu. PERAN UMAR IBN ABDUL AZIZ DALAM KODIFIKASI HADIS Abstract Hadis merupakan sumber Hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an. Oleh karena hadis menduduki peringkat kedua setelah Al-Qur’an, maka suatu keharusan bagi kaum muslimin untuk mepelajarinya. Tanpa mengenal hadis, rasanya sulit untuk memahami ilmu-ilmu keislaman. Hadis bukanlah hal yang baru bagi masyarakat Islam masa kini, karena semenjak Muhammad saw dikenal dengan nama hadis. Hadis tidak lain adalah segala yang dinukilkan pada Rasulullah baik perkataan, perbuatan, takrir dan hal-ikhwalnya. Namun yang menarik adalah kenapa hadis ini baru dihimpun dikodifikasikan secara resmi pada masa khalifah Umar ibn Abdul Aziz -khalifah Ummayyah kedelapan-? Apa sebelum masa Umar ibn Abdul Aziz tidak ada usaha untuk mengkodifikasikan hadis. Dalam tulisan singkat ini akan dibahas bagaimana peran khalifah Umar ibn Abdul Aziz dalam kodifikasi hadis. Namun terlebih dahulu akan dibahas pengertian kodifikasi dan bagaimana penulisan hadis pada masa Nabi. Refbacks There are currently no refbacks.
Nama lengkapnya adalah Abu Hafsh Umar bin Abdul Aziz bin Marwan bin al-Hakam bin Abil Ash bin Umayyah bin Abdi Syams bin Abdi Manaf bin Qushai bin Kilab, al-Quraisy al-Madani. Beliau lahir pada tahun 61 H dan wafat pada 101 H. Ayahnya, yaitu Abdul Aziz bin Marwan, merupakan seorang yang pernah menjabat pemimpin kota Mesir selama kurang lebih sekitar 20 tahun dan di sana pula Umar lahir, tepatnya di Halwan. Abdul Aziz adalah seorang yang cinta pada hadis-hadis Rasulullah. Dia sering hadir di majelis Abu Hurairah dan para sahabat lain. Sedangkan ibu beliau adalah Ummu Ashim binti Ashim bin Umar bin Khathab. Umar bin Abdul Aziz biasa dikenal juga dengan sebutan Umar II. Umar bin Abdul Aziz, Keturunan Umar bin Khathab Menurut sebagian sumber, pada masa ketika Umar bin Khathab menjadi khalifah, dia sering ronda pada malam hari. Khalifah Umar sangat terkenal dengan kegiatannya ronda pada malam hari di sekitar daerah kekuasaannya. Pada suatu malam beliau mendengar dialog seorang anak perempuan dan ibunya yang berasal dari bani Hilal, seorang penjual susu yang miskin. “Wahai anakku, bersegeralah kita tambah air dalam susu ini supaya terlihat banyak sebelum terbit matahari.”Anaknya menjawab, “Kita tidak boleh berbuat seperti itu ibu, Amirul Mukminin melarang kita berbuat begini.” Si ibu masih mendesak, “Tidak mengapa, Amirul Mukminin tidak akan tahu.” Balas si anak, “Jika Amirul Mukminin tidak tahu, tapi Tuhan Amirul Mukminin tahu.” Umar yang mendengar kemudian menangis. Betapa mulianya hati anak gadis itu. Lalu Umar meminta pembantunya Aslam untuk menandai tempat dia mendengar percakapan antara ibu dan putrinya tersebut. Kemudian keesokan harinya, perempuan dan putrinya itu dicari dan ternyata sang ibu adalah seorang janda dan putrinya masih gadis. Melihat hal ini, Umar bin Khathab kemudian mengumpulkan putra-putranya dan mengatakan, “Siapa di antara kalian yang mau menikahi gadis tersebut? Demi Allah, bila aku masih tertarik kepada perempuan maka tentu aku tidak akan mengusulkannya pada orang lain.” Lalu Ashim berkata, “Nikahkan dia denganku, karena hanya aku yang masih bujang.” Kata Umar, “Semoga lahir dari keturunan gadis ini bakal pemimpin Islam yang hebat kelak yang akan memimpin orang-orang Arab dan Ajam.” Asim segera menikahi gadis miskin tersebut. Pernikahan ini melahirkan anak perempuan bernama Laila yang lebih dikenal dengan sebutan Ummu Ashim. Ketika dewasa, Ummu Asim menikah dengan Abdul-Aziz bin Marwan yang melahirkan Umar bin Abdul-Aziz. Jadi Umar bin Khathab adalah mbah buyut Umar bin Abdul Aziz dari jalur ibunya. Masa Kecil dan Keluarga Umar bin Abdul Aziz Saat masih kecil Umar mendapat kecelakaan, tanpa sengaja seekor kuda jantan menendangnya dan keningnya robek. Semua orang panik dan menangis, kecuali Abdul Aziz seketika tersentak dan tersenyum seraya mengobati luka Umar kecil, dia berujar kepada istrinya, “Bergembiralah engkau, wahai Ummu Ashim. Mimpi Umar bin Khathab insya Allah terwujud, dialah anak dari keturunan Umayyah yang akan memperbaiki bangsa ini.” Pada masa bujangnya, beliau lebih mengutamakan ilmu dari menyibukkan urusan kekuasaan dan jabatan. Tak heran jika ia telah hafal Al-Qur’an di masa kecilnya. Kemudian dia meminta kepada ayahnya agar mengizinkannya untuk melakukan rihlah perjalanan jauh dalam thalabul ilmi menuntut ilmu menuju Madinah. Di sana dia belajar agama menimba ilmu akhlak dan adab kepada para fuqoha Madinah. Di Madinah dia belajar kepada Abdullah bin Umar bin Khathab dan Anas bin Malik, dan di sanalah pula beliau dikenal dengan ilmu dan kecerdasannya. Di Madinah, Umar bin Abdul Aziz juga belajar pada salah satu dari tujuh ahli fikih Madinah, yakni Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud. Dia belajar dari Shalih bin Kaisan, salah seorang tabiin senior, yang memang ditugasi Abdul Aziz agar mengajari dan mendidik Umar. Setelah ayahanda meninggal dunia, Umar diminta untuk tinggal bersama pamannya yaitu Abdul Malik bin Marwan, bahkan ia dinikahkan dengan putrinya yaitu Fathimah binti Abdul Malik bin Marwan. Umar bin Abdul Aziz mempunyai empat belas anak laki-laki, di antara mereka adalah Abdul Malik, Abdul Aziz, Abdullah, Ibrahim, Ishaq, Ya’qub, Bakar, Al-Walid, Musa, Ashim, Yazid, Zaban, Abdullah, serta tiga anak perempuan, Aminah, Ummu Ammar dan Ummu Abdillah. Beliau memiliki tiga istri. Sebelum menjadi khalifah, Umar bin Abdul Aziz sempat menempati posisi strategis. Di antaranya pada tahun 706 M ketika berumur 25 tahun dia diangkat sebagai gubernur Madinah setelah ayah mertuanya meninggal. Beliau menjadi gubernur Madinah sekitar 7 tahun. Umar sangat adil dalam memerintah, beliau juga membentuk satu dewan penasihat. Umar pernah diangkat menjadi katib sekretaris bahkan wazir pada masa Sulaiman bin Abdul Malik. Umar dikenal sebagai orang yang zuhud, rendah hati, wara’, takut kepada Allah. Dedikasi Khalifah Pecinta Hadis Umar sangat mencintai hadis-hadis Nabi saw. Penulisan hadis secara besar-besaran bermula pada kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz, dalam artian bahwa sebelum masa ini hadis lebih banyak dihafal daripada ditulis dalam catatan-catatan sederhana. Mulai pada masa Umar bin Abdul Aziz inilah seorang ulama’ bernama az-Zuhri diperintah untuk menulis hadis secara lengkap dan dibukukan secara metodologis. Upaya para pendahulunya dengan ditulisnya hadis dalam sahifah hanya merupakan usaha individual sederhana yang mencakup hadis-hadis yang didapat dari rasul atau sahabat yang belum terkodifikasi secara beraturan. Ketika Umar bin Abdul Aziz menjabat sebagai khalifah pada tahun 99 H, Umar memerintahkan para ulama hadis untuk mencari hadis nabi. Umar sangat waspada dan sadar, bahwa para perawi yang mengumpulkan hadis dalam ingatannya semakin sedikit jumlahnya karena meninggal dunia. Beliau khawatir apabila tidak segera dikumpulkan dan dibukukan dalam buku-buku hadis dari para perawinya, mungkin hadis-hadis itu akan lenyap bersama lenyapnya para penghafalnya. Maka tergeraklah dalam hatinya untuk mengumpulkan hadis-hadis Nabi dari para penghafal yang masih hidup. Pada tahun 100 H, Khalifah Umar bin Abdul Azis memerintahkah kepada gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm agar membukukan hadis-hadis Nabi yang terdapat pada para penghafal. Di samping kepada gubernur Madinah, Khalifah juga menulis surat kepada gubernur lain agar mengusahakan pembukuan hadis. Khalifah juga secara khusus menulis surat kepada Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab Al-Zuhri. Editor Shidqi Mukhtasor
I. PENDAHULUAN Al-Hadith merupakan sumber hukum utama sesudah al-Qur’an. Keberadaan al-Hadith merupakan realitas nyata dari ajaran Islam yang terkandung dalam al-Qur’an. Hal ini karena tugas Rasul adalah sebagai pembawa risalah dan sekaligus menjelaskan apa yang terkandung dalam risalah yakni al-Qur’an. Sedangkan al-Hadith, hakikatnya tak lain adalah penjelasan dan praktek dari ajaran al-Qur’an itu sendiri. Kendati demikian, keberadaan al-Hadith dalam proses kodifikasinya sangat berbeda dengan al-Quran yang sejak awal mendapat perhatian secara khusus baik dari Rasulullah saw maupun para sahabat berkaitan dengan penulisannya. Bahkan al-Qur’an telah secara resmi dikodifikasikan sejak masa khalifah Abu Bakar al-Shiddiq yang dilanjutkan dengan Utsman bin Affan yang merupakan waktu yang relatif dekat dengan masa Rasulullah. Sementara itu, perhatian terhadap al-Hadith tidaklah demikian. Upaya kodifikasi al-Hadith secara resmi baru dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin Abd. al-Aziz khalifah Bani Umayyah yang memerintah tahun 99-101 Hijriyah, waktu yang relatif jauh dari masa Rasulullah saw. Kenyataan ini telah memicu berbagai spekulasi berkaitan dengan otentisitas al-Hadith. Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang definisi kodifikasi hadith, sejarah kodifikasi hadith dan faktor- faktor pendorong kodifikasi hadith. II. PEMBAHASAN A. DEFINISI KODIFIKASI HADITH Kodifikasi atau tadwin hadith secara resmi di sinonimkan dengan tadwin al hadith Rasmiyan, tentunya akan berbeda dengan penulisan hadith atau kitabah al hadith. Secara etimologi kata kodifikasi berasal kata codification yang berarti penyusunan menurut aturan/ sistem tertentu.[1] Atau dari kata tadwin dapat berarti perekaman recording, penulisan writing down, pembukuan booking, pendaftaran listing, registration. Lebih dari itu, kata tadwin juga berarti pendokumentasian, penghimpunan atau pengumpulan serta penyusunan. Maka kata tadwin tidak semata- mata berarti penulisan, namun ia mencakup penghimpunan, pembukuan dan pendokumentasian.[2] Adapun kata rasmiyan secara resmi mengandung arti bahwa suatu kegiatan dilakukan oleh lembaga administratif yang diaukui oleh masyarakat, baik langkah yang ditempuh tersebut diakui atau tidak oleh masyarakat itu sendiri. Jadi yang dimaksud dengan kodifikasi hadith secara resmi adalah penulisan hadith nabi yang dilakukan oleh pemerintah yang disusun menurut aturan dan sistem tertentu yang diakui oleh masyarakat. Adapun perbedaan antara kodifikasi hadith secara resmi dan penulisan hadith adalah a. Kodifikasi hadith secara resmi dilakukan oleh suatu lembaga administratif yang diakui oleh masyarakat, sedang penulusan hadith dilakukan oleh perorangan. b. Kegiatan kodifikasi hadith tidak hanya menulis, tapi juga mengumpulkan, menghimpun dan mendokumentasikannya. c. Tadwin hadith dilakukan secara umum yang melibatkan segala perangkat yang dianggap kompeten terhadapnya, sedang penulisan hadith dilakukan oleh orang- orang tertentu.[3] B. SEJARAH KODIFIKASI HADITH Ide penghimpunan hadith nabi secara tertulis untuk pertama kali dikemukakan oleh Khalifah Umar bin al Khattab H=633 M. Ide tersebut tidak dilaksanakan oleh Umar karena Umar merasa khawatir umat Islam akan terganggu perhatiannya dalam mempelajari al Qur’an. Pembatalan niat Umar untuk menghimpun hadith nabi itu dikemukakan sesudah beliau melakukan sholat Istikharah selama satu bulan. Kebijaksanaan Umar dapat dimengerti karena pada zaman Umar daerah Islam telah semakin luas dan hal itu membawa akibat jumlah orang yang baru memeluk Islam semakin bertambah banyak.[4] Memasuki periode tabi’in, sebenarnya kekhawatiran membukukan/ kodifikasi hadith tidak perlu terjadi, justru pada periode ini telah bertabur hadith- hadith palsu yang mulai bermunculan setelah umat Islam terpecah menjadi golongan- golongan, yang semula berorientasi politik berubah menjadi faham keagamaan, seperti Khawarij, Syi’ah, murji’ah, dan lain- lain. Perpecahan ini terjadi sesaat setelah peristiwa tahkim yang merupakan rentetan peristiwa yang berasal dari terbunuhnya khalifah Umar bin Affan ra. Untuk mengukuhkan eksistensi masing- masing golongan mereka merasa perlu mencipta hadith palsu.[5] Kemudian semua karya tentang hadith dikumpulkan pada paruh akhir abad ke- 2H/ 8M atau selama abad ke-3/9M. Berbagai catatan sejarah menunjukkan bahwa di seputar awal abad ke-2H, sejumlah kecil muhadditsun ahli hadith telah mulai menulis hadith, meskipun tidak dalam himpunan yang runtut. Belakangan koleksi kecil ini menjadi sumber bagi karya-karya yang lebih besar. Meskipun begitu kebanyakan hadith yang ada dalam himpunan- himpunan besar disampaikan melalui tradisi lisan. Sebelum dicatat dalam himpunan- himpunan tersebut belum pernah dicatat di tempat manapun.[6] Ada beberapa pendapat yang berkembang mengenai kapan kodifikasi secara resmi dan serentak dimulai. 1 Kelompok Syi’ah, mendasarkan pendapat Hasan al-Sadr 1272-1354 H, yang menyatakan bahwa penulisan hadis telah ada sejak masa Nabi dan kompilasi hadis telah ada sejak awal khalifah Ali bin Abi Thalib 35 H, terbukti adanya Kitab Abu Rafi’, Kitab al-Sunan wa al-Ahkam wa al-Qadaya.. 2 Sejak abad I H, yakni atas prakarsa seorang Gubernur Mesir Abdul Aziz bin Marwan yang memerintahkan kepada Kathir bin Murrah, seorang ulama Himsy untuk mengumpulkan hadis, yang kemudian disanggah Syuhudi Ismail dengan alasan bahwa perintah Abdul Aziz bin Marwan bukan merupakan perintah resmi, legal dan kedinasan terhadap ulama yang berada di luar wilayah kekuasaannya. 3 Sejak awal abad II H, yakni masa Khalifah ke-5 Dinasti Abbasiyyah, Umar ibn Abdul Aziz yang memerintahkan kepada semua gubernur dan ulama di wilayah kekuasaannya untuk mengumpulkan hadith- hadith Nabi. Kepada Ibnu Shihab al-Zuhri, beliau berkirim surat yang isinya” Perhatikanlah hadis Rasulullah SAW., lalu tulislah. Karena aku mengkhawatirkan lenyapnya ilmu itu dan hilangnya para ahli” dan kepada Abu Bakar Muhammad ibn Amr ibn Hazm, beliau menyatakan “Tuliskan kepadaku hadis dari Rasulullah yang ada padamu dan hadith yang ada pada Amrah Amrah binti Abdurrahman, w. 98 H, karena aku mengkhawatirkan ilmu itu akan hilang dan lenyap.” Pendapat ketiga ini yang dianut Jumhur Ulama Hadis, dengan pertimbangan jabatan khalifah gaungnya lebih besar daripada seorang gubernur, khalifah memerintah kepada para gubernur dan ulama dengan perintah resmi dan legal serta adanya tindak lanjut yang nyata dari para ulama masa itu untuk mewujudkannya dan kemudian menggandakan serta menyebarkan ke berbagai tempat. Dengan demikian, penulisan hadith yang sudah ada dan marak tetapi belum selesai ditulis pada masa Nabi, baru diupayakan kodifikasinya secara serentak, resmi dan massal pada awal abad II H, yakni masa Umar bin Abdul’Aziz, meskipun bisa jadi inisiatif tersebut berasal dari ayahnya, Gubernur Mesir yang pernah mengisyaratkan hal yang sama sebelumnya. Adapun siapa kodifikator hadis pertama, muncul nama Ibnu Shihab al-Zuhri w. 123 H, karena beliaulah yang pertama kali mengkompilasikan hadith dalam satu kitab dan menggandakannya untuk diberikan ke berbagai wilayah, sebagaimana pernyataannya ”Umar bin Abdul Aziz memerintahkan kepada kami menghimpun sunnah, lalu kami menulisnya menjadi beberapa buku.” Kemudian beliau mengirimkan satu buku kepada setiap wilayah yang berada dalam kekuasaannya. Demikian pandangan yang dirunut sebagian besar sejarawan dan ahli Hadith. Adapun ulama yang berpandangan Muhammad Abu Bakr ibn Amr ibn Hazm yang mengkodifikasikan hadith pertama, ditolak oleh banyak pihak, karena tidak digandakannya hasil kodifikasi Ibn Amr ibn Hazm untuk disebarluaskan ke berbagai wilayah. Meski demikian, ada juga yang berpendapat bahwa kodifikator hadith sebelum adanya instruksi kodifikasi dari Khalifah Umar ibn Abdul Aziz telah dilakukan, yakni oleh Khalid bin Ma’dan w. 103 H. Rasyid Ridha 1282-1354 H berpendapat seperti itu, berdasar periwayatan, Khalid telah menyusun kitab pada masa itu yang diberi kancing agar tidak terlepas lembaran-lembarannya. Namun pendapat ini ditolak Ajjaj al-Khatib, karena penulisan tersebut bersifat individual, dan hal tersebut telah dilakukan jauh sebelumnya oleh para sahabat. Terbukti adanya naskah kompilasi hadis dari abad I H, yang sampai kepada kita, yakni al-Sahifah al-Sahihah.[7] Diantara buku-buku yang muncul pada masa ini adalah 1 Al-Muwaththa’ yang ditulis oleh Imam Malik 2 Al-Mushannaf oleh Abdul Razzaq bin Hammam Ash-Shan’ani 3 As-Sunnah ditulis oleh Abd bin Manshur 4 Al-Mushannaf dihimpun oleh Abu Bakar bin Syaybah, dan 5 Musnad Asy-Syafi’i.[8] Teknik pembukuan hadith- hadith pada periode ini sebagaimana disebutkan pada nama-nama tersebut, yaitu al-mushannaf, al-muwaththa’, dan musnad. Arti istilah-istilah ini adalah a. Al-Mushannaf dalam bahasa diartikan sesuatu yang tersusun. Dalam istilah yaitu teknik pembukuan hadits didasarkan pada klasifikasi hukum fiqh dan didalamnya mencantumkan hadith marfu’, mauquf, dan maqthu’. b. Al-Muwatththa’ dalam bahasa diartikan sesuatu yang dimudahkan. Dalam istilah Al-Muwaththa’ diartikan sama dengan Mushannaf. c. Musnad dalam bahasa tempat sandaran sedang dalam istilah adalah pembukuan hadith yang didaarkan pada nama para sahabat yang meriwayatkan hadith tersebut Tulisan-tulisan hadith pada masa awal sangat penting sebagai dokumentasi ilmiah dalam sejarah, sebagai bukti adanya penulisan hadith sejak zaman Rasululloh, sampai dengan pada masa pengkodifikasian resmi dari Umar bin abdul aziz, bahkan sampai pada masa sekarang.[9] Aktifitas Ulama dalam kodifikasi hadith sejak Abad II H. 1. Kodifikasi Hadith Abad II H. Pada abad kedua, para ulama dalam aktifitas kodifikasi hadith tidak melakukan penyaringan dan pemisahan, mereka tidak membukukan hadith- hadith saja, tetapi fatwa sahabat dan tabi’in juga dimasukkan ke dalam kitab- kitab mereka. Dengan kata lain, seleksi hadith pada abad kedua ini disamping memasukkan hadith– hadith nabi juga perkataan para sahabat dan para tabi’in juga dibukukan, sehingga dalam kitab- kitab itu terdapat hadith- hadith marfu’, hadith mawquf dan hadith maqthu’.[10] 2. Kodifikasi Hadith Abad III H. Abad ketiga Hijriah ini merupakan masa penyaringan dan pemisahan antara sabda Rasulullah dengan fatwa sahabat dan tabi’in. Masa penyeleksian ini terjadi pada zaman Bani Abbasyiyah, yakni masa al- Ma’mun sampai al- Muktadir sekitar tahun 201- 300 H. Periode penyeleksian ini terjadi karena pada masa tadwin belum bias dipisahkan antara hadith marfu’, mawquf, dan maqthu’, hadith yang dhaif dari yang sahih ataupun hadith yang mawdhu’ masih tercampur dengan sahih. Pada saat ini pula mulai dibuat kaidah- kaidah dan syarat- syarat untuk menentukan apakah suatu hadith itu sahih atau dhaif. Para periwayat hadith pun tidak luput dari sasaran penelitian mereka untuk diteliti kejujuran, kekuatan hafalan, dan lain sebagainya.[11] 3. Kodifikasi Hadith Abad IV- VII H. Kalau abad pertama, kedua, dan ketiga, hadith berturut- turut mengalami masa periwayatan, penulisan, pembukuan, serta penyaringan dari fatwa- fatwa sahabat dan tabi’in, yang system pengumpulan hadith nya di dasarkan pada usaha pencarian sendiri untuk menemui sumber secara langsung kemudian menelitinya, maka pada abad keempat dan seterusnya digunakan metode yang berlainan. Demikian pula, ulama yang terlihat pada sebelum abad ke empat disebut ulama mutaqaddimun dan ulama yang terlibat dalam kodifikasi hadith pada abad keempat dan seterusnya disebut ulama mutaakhirin. Pembukuan hadith pada periode ini lebih mengarah pada usaha mengembangkan variasi pen- tadwin– an terhadap kitab- kitab hadith yang sudah ada. Maka, setelah beberapa tahun dari kemunculan al kutub al- sittah, al- Muwaththa’ Imam Malik ibn Anas, dan al Musnad Ahmad ibn Hanbal, para ulama mengalihkan perhatian untuk menyusun kitab- kitab yang berbentuk jawami’, takhrij, athraf, syarah, dan mukhtashar, dan menyusun hadith untuk topik- topik tertentu.[12] 4. Kodifikasi Hadith Abad VII- sekarang. Kodifikasi hadith yang dilakukan pada abad ketujuh dilakukan dengan cara menertibkan isi kitab- kitab hadith, menyaringnya, dan menyusun kitab- kitab takhrij, membuat kitab- kitab jami’ yang umum, kitab- kitab yang mengumpulkan hadith- hadith hukum, men takhrij hadith- hadith yang terdapat dalam beberapa kitab, men- takhrij hadith- hadith yang terkenal di masyarakat, menyusun kitab athraf, mengumpulkan hadith- hadith disertai dengan menerangkan derajatnya, mengumpulkan hadith- hadith dalam shahih al- Bukhari dan Shahih Muslim, men- tashih sejumlah hadith yang belum di tashih oleh ulama sebelumnya, mengumpulkan hadith- hadith tertentu sesuai topik, dan mengumpulkan hadith dalam jumlah tertentu.[13] C. FAKTOR- FAKTOR PENDORONG KODIFIKASI HADITH Ada tiga hal pokok yang melatar belakangi mengapa khalifah Umar bin Abd Aziz melakukan kodifikasi hadith 1. Beliau khawatir hilangnya hadith- hadith, dengan meninggalnya para ulama di medan perang. Ini adalah faktor utama sebagaimana yang terlihat dalam naskah surat- surat yang dikirimkan kepada para ulama lainnya. 2. Beliau khawatir akan tercampurnya antara hadith- hadith yang shahih dengan hadith- hadith palsu. 3. Dengan semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam, sementara kemampuan para tabi’in antara satu dengan yang lainnya tidak sama jelas sangat memerlukan adanya kodifikasi ini.[14] Dengan demikian faktor terpenting pendorong dilakukannya pengkodifikasian hadith adalah untuk menyelamatkan hadith- hadith nabi dari kepunahan dan pemalsuan. D. PENENTU KEBIJAKAN KODIFIKASI DAN ULAMA YANG TERLIBAT DI DALAMNYA Para ulama salaf dari kalangan sahabat dan tabi’in berbeda pendapat penulisan hadith dalam beberapa pendapat a. Sebagian mereka membencinya, diantaranya adalah Ibnu Umar dan Ibnu Mas’ud serta Zaid bin Tsabit. b. Sebagian lain membolehkannya, diantaranya adalah Abdullah bin Ameer dan Anas, Umar bin Ibnu Abdul Aziz serta kebanyakan para sahabat. c. Kemudian mereka sepakat untuk membolehkannya, dan hilanglah perbedaan. Dan seandainya hadith tidak dibukukan dalam kitab- kitab niscaya akan sirnalah dalam masa akhir terutama dimasa kita sekarang.[15] Sedangkan ulama yang terlibat di dalam kodifikasi hadith antara lain 1. Khalifah Umar bin Abdul Aziz. memerintah mulai tahun 99-101 H. Beliaulah yang memerintahkan adnya pembukuan hadith dengan alasan kuatir lenyapnya ajaran- ajaran nabi berhubung telah banyak ulama dan sahabat yang wafat. Karena itu beliau menginstruksikan kepada para gubernur dari semua daerah Islam supaya menghimpun dan menulis hadith- hadith nabi.[16] 2. Abdul Malik bin Abdul Aziz -150 H di Makkah. 3. Malik bin Anas 93-179 H dan Muhammad bin Ishaq -151 H di Madinah. 4. Muhammad ibnu Abdurrahman bin Dzi’ib 80-158 H di Makkah. 5. Rabi’ bin Sabih -160 H, Sa’id bin Arubah -156 H dan Hammad ibn Salamah -167 H di Basrah. 6. Sufyan al-Thauri 97-161 H di Kufah, Khalid ibn Jamil al-’Abd dan Ma’mar ibn Rashid 95-153 H di Yaman. 7. Abdurrahman bin Amr al-Auza’i 88-157 H di Sham. 8. ’Abdullah ibn al-Mubarak 118-181 H di Khurasan. 9. Hashim ibnu Bushair 104-183 H di Wasit. 10. Jarir ibn Abdul Hamid 110-188 H di Rayy. 11. Abdullah ibn Wahb 125-197 H di Mesir.[17] Proses kodifikasi pada masa ulama Ibnu Abdul Aziz Untuk keperluantadwin ini, sebagai khalifah Umarmemberikan instruksi kepada Abu Bakar ibn Muhammad ibn Hazm, seorang gubernur Madinah agar mengumpulkan dan menghimpun hadith- hadith yang ada pada Amrah binti Abd al- Rahman al- Anshari dan al- Qasim ibn Muhammad ibn Abu Bakar. Instruksi untuk mengumpulkan dan mengkodifikasikan hadith juga disampaikan kepada Muhammad ibn Syihab al- Zuhri, seorang ulama besar di negeri Hijaz dan Syam. Al- Zuhri menggalang agar para ulama hadith mengumpulkan hadith di masing- masing daerah mereka, dan ia berhasil menghimpun hadith dalam satu kitab sebelum khalifah meninggal dunia yang kemudian dikirimkan oleh khalifah ke berbagai daerah untuk bahan penghimpunan hadith selanjutnya.[18] III. ANALISIS Dari pemaparan tentang kodifikasi hadith diatas penulis sangat sependapat dengan usaha pengkodifikasian hadith yang di prakarsai oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Dengan alasan- alasan kuat yang diajukan oleh Khalifah Umar penulis menganggap pelaksanaan kodifikasi sangat di perlukan untuk dilakukan. Selain untuk menjaga ajaran- ajaran Nabi Muhammad SAW, pengkodifikasian juga diperlukan untuk menghindari pemalsuan hadith Nabi. Hal ini perlu dilakukan karena hadith merupakan salah satu pedoman umat Islam dalam menjalankan syari’ah. Peran hadith dinilai sangat penting karena kedudukannya sebagai penjelas ayat- ayat yang belum jelas. Banyak ayat- ayat al Qur’an yang memerintahkan melaksanakan ibadah-ibadah tertentu, akan tetapi tidak menjelaskan caranya. Misalnya sholat dan haji. Dan bagaimana cara pelaksanaan sholat dan haji dijelaskan dalam hadith nabi. Dengan demikian pengkodifikasian hadith perlu mendapat apresiasi yang tinggi terhadap pelopor dan pelaksananya. IV. KESIMPULAN Rencana untuk mengumpulkan hadith- hadith nabi pertama dimulai oleh Khalifah Umar bin Khattab. Namun dengan berbagai pertimbangan rencana tersebut batal dilaksanakan. Alasan utamanya adalah karena waktu itu masih berlangsung pengumpulan al Qur’an. Sedangkan kodifikasi secara resmi dilakukan pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz. Khalifah Umar memerintahkan kepada para gubernur untuk mengumpulkan dan melakukan pembukuan terhadap hadith. Ulama yang terlibat di dalam kodifikasi hadith antara lain Khalifah Umar bin Abdul Aziz. memerintah mulai tahun 99-101 H. Abdul Malik bin Abdul Aziz -150 H di Makkah. Malik bin Anas 93-179 H dan Muhammad bin Ishaq -151 H di Madinah. Muhammad bin Abdurrahman bin Dzi’ib 80-158 H di Makkah. Rabi’ bin Sabih -160 H, Sa’id bin Arubah -156 H dan Hammad ibn Salamah -167 H di Basrah. Sufyan al-Thauri 97-161 H di Kufah, Khalid ibn Jamil al-’Abd dan Ma’mar ibn Rashid 95-153 H di Yaman. Abdurrahman bin Amr al-Auza’i 88-157 H di ibn al-Mubarak 118-181 H di Khurasan. Hashim ibnu Bushair 104-183 H di Wasit. Jarir ibn Abdul Hamid 110-188 H di Rayy. Abdullah ibn Wahb 125-197 H di Mesir. DAFTAR PUSTAKA Arifin, Zainul, Studi Hadis, Surabaya Alpha, 2005. al- Asqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar, fath al Bari, juz I. Echols, John, M. Hasan shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta Gramedia,1996. Idri, Studi Hadis, Jakarta Kencana, 2010. Ismail, Syuhudi, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya, Jakarta Gema Insani Press, 1995. Ja’fariyan, Rasul, Penulisan dan Penghimpunan Hadith kajian histori, Lentera, 1992. Najwah,Nurun, Ranuwijaya, Utang, Ilmu Hadis, Jakarta Radar Jaya, 1996 Thahan, Mahmud, Ulumul Hadith, Studi Komplesitas hadith nabi, penerjemah, Zainul Muttaqin, Yogyakarta Titian Ilahi Press & LP2KI, 1997. Zuhri, M., Hadits Nabi, Telaah Historis dan Metodologis, Yogyakarta Tiara Wacana, 1997. [1] John Echols, M. Hasan shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta Gramedia,1996, 122. [2] Zainul Arifin, Studi Hadis, Surabaya Alpha, 2005, 34. [3] Ibid, 35. [4] Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya, Jakarta Gema Insani Press, 1995, 49. [5] M. Zuhri, Hadits Nabi, Telaah Historis dan Metodologis, Yogyakarta Tiara Wacana, 1997,52. [6] Rasul Ja’fariyan, Penulisan dan Penghimpunan Hadith kajian histori, Lentera, 1992, 23. [8] Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadis, Surabaya Bina Ilmu, 1993, 85 [10] Idri, Studi Hadis, Jakarta Kencana, 2010, 95. [11] Ibid, 97. [12] Ibid, 99. [13] Ibid, 101. [14] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, Jakarta Radar Jaya, 1996, 68. [15] Mahmud Thahan, Ulumul Hadith, Studi Komplesitas hadith nabi, penerjemah, Zainul Muttaqin, Yogyakarta Titian Ilahi Press & LP2KI, 1997, 194. [16] Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadis, 85. [18] Ahmad bin Ali bin Hajar al- Asqalani, fath al Bari, juz I, 195.
Hadis Nabawi atau Sunnah Nabawiyyah adalah satu dari dua sumber syariat Islam setelah Al-Quran. Fungsi hadits dalam syariat Islam sangat strategis. Diantara fungsi hadis yang paling penting adalah menafsirkan Al-Qur`an dan menetapkan hukum-hukum lain yang tidak terdapat dalam Al-Qur`an. Begitu pentingnya kedudukan hadits, pantas jika salah seorang ulama berkata, “Al-Qur`an lebih membutuhkan kepada Sunnah daripada Sunnah kepada Al-Qur`an.”Dahulu, para sahabat yang biasa mendengarkan perkataan Nabi dan menyaksikan tindak-tanduk dan kehidupan Nabi secara langsung, jika mereka berselisih dalam menafsirkan ayat Al-Quran atau kesulitan dalam menentukan suatu hukum, mereka merujuk kepada hadits Nabi. Mereka sangat memegang teguh sunnah yang belum lama diwariskan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sebagai pelengkap wahyu yang turun untuk seluruh jaman kenabian, hadis adalah ilmu yang mendapat perhatian besar dari kaum muslimin. Hadits mendapat tempat tersendiri di hati para sahabat, tabi’in dan orang-orang yang datang setelah mereka. Setelah Al-Quran, seseorang akan dimuliakan sesuai dengan tingkat keilmuan dan hapalan hadisnya. Karena itu, mereka sangat termotivasi untuk mempelajari dan menghafal hadis-hadis Nabi melalui proses periwayatan. Tidak heran, jika sebagian mereka sanggup menumpuh perjalanan beribu-ribu kilometer demi mencari satu hadits awal pertumbuhan ilmu hadis ini, kaum muslimin lebih cenderung bertumpu pada kekuatan hapalannya tanpa menuliskan hadis-hadis yang mereka hapal sebagaimana yang mereka lakukan dengan Al-Qur`an. Kemudian, ketika sinar Islam mulai menjelajah berbagai negeri, wilayah kaum muslimim semakin meluas, para sahabat pun menyebar di sejumlah negeri tersebut dan sebagiannya sudah mulai meninggal dunia serta daya hapal kaum muslimim yang datang setelah mereka sedikit lemah, kaum muslimin mulai merasakan pentingnya mengumpulkan hadis dengan SahabatMasa Tabi’in dan setelahnyaMasa SahabatSebetulnya, kodifikasi penulisan dan pengumpulan hadis telah dilakukan sejak jaman para sahabat. Namun, hanya beberapa orang saja diantara mereka yang menuliskan dan menyampaikan hadis dari apa yang mereka tulis. Disebutkan dalam shahih al-Bukhari, di Kitab al-Ilmu, bahwa Abdullah bin Amr biasa menulis hadis. Abu Hurairah berkata, “Tidak ada seorang pun dari sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang lebih banyak hadisnya dari aku kecuali Abdullah bin Amr, karena ia biasa menulis sementara aku tidak.”Namun, kebanyakan mereka hanya cukup mengandalkan kekuatan hapalan yang mereka miliki. Hal itu diantara sebabnya adalah karena di awal-awal Islam Rasulullah sempat melarang penulisan hadis karena khawatir tercampur dengan Al-Qur`an. Dari Abu Sa’id al-Khudri, Bahwa Rasulullah bersabda, “Janganlah menulis dariku! Barangsiapa menulis dariku selain Al-Quran, maka hapuslah. Sampaikanlah dariku dan tidak perlu segan..” HR MuslimMasa Tabi’in dan setelahnyaTradisi periwayatan hadis ini juga kemudian diikuti oleh tokoh-tokoh tabi`in sesudahnya. Hingga datang masa kepemimpinan khalifah kelima, Umar Ibn Abdul’aziz. Dengan perintah beliau, kodifikasi hadits secara resmi Bukhari mencatat dalam Shahihnya, kitab al-ilmu, “Dan Umar bin Abdul aziz menulis perintah kepada Abu Bakar bin Hazm, “Lihatlah apa yang merupakan hadis Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam lalu tulislah, karena sungguh aku mengkhawatirkan hilangnya ilmu dan lenyapnya para ulama.”Ibnu Hajar mengatakan, “Dapat diambil faidah dari riwayat ini tentang permulaan kodifikasi hadis nabawi. Dahulu kaum muslimin mengandalkan hapalan. Ketika Umar bin Abdul aziz merasa khawatir –padahal beliau ada di akhir abad pertama- hilangnya ilmu dengan meninggalnya para ulama, beliau memandang bahwa kodifikasi hadis itu dapat Nu’aim meriwayatkan dalam tarikh ashfahan kisah ini dengan redaksi, “Umar bin Abdul aziz memerintahkan kepada seluruh penjuru negeri, “lihatlah hadis Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan kumpulkanlah.”Diantara yang pertama kali mengumpulkan hadis atas perintah Umar bin Abdul aziz adalah Muhammad bin Muslim, ibnu Syihab az-Zuhry, salah seorang ulama ahli Hijaz dan Syam. Setelah itu, banyak para ulama yang menuliskan hadis-hadis Rasulullah dan mengumpulkannya dalam kitab Mekah ada Ibnu Juraij w 150 H dengan kitab “as-sunan”, “at-Thaharah”, “as-shalah”, “at-tafsir” dan “al-Jaami”. Di madinah Muhammad bin Ishaq bin Yasar w 151 H menyusun kitab “as-sunan” dan “al-Maghazi”, atau Malik bin Anas w 179 H menyusun “al-Muwaththa”. Di Bashrah Sa’id bin Arubah w 157 H menyusun “as-sunan” dan “at-tafsiir”, Hammad bin Salamah w 168 H menyusun “as-sunan”. Di Kufah Sufyan ast-Tsauri w 161 H menyusun “at-Tafsir”, “al-Jami al-Kabir”, al-Jami as-Shaghir”, “al-Faraaidh”, “al-Itiqad”Al-Auza’I di Syam, Husyaim di Washith, Ma’mar di Yaman, Jarir bin Abdul hamid di ar-Rai, Ibnul Mubarak di Khurasan. Semuanya adalah para ulama di abad ke dua. Kumpulan hadis yang ada pada mereka masih bercampur dengan perkataan para sahabat dan fatwa para ulama tabi’ juga penulisan hadis ini menjadi tradisi ulama setelahnya di abad ke tiga dan seterusnya. Hingga datang zaman keemasan dalam penulisan hadis. Ia adalah periode Kitab Musnad Ahmad dan kutub sittah. Diantaranya adalah dua kitab shahih. Al-Imam al-Bukhari, seorang ulama hadis jenius yang memiliki kedudukan tinggi, menulis dan mengumpulkan hadis-hadis shahih dalam satu kitab yang kemudian terkenal dengan nama “shahih al-Bukhari”. Diikuti setelahnya oleh al-Imam Muslim dengan kitab “shahih muslim”.Tidak hanya itu, zaman keemasan ini telah menelurkan kitab-kitab hadis yang hampir tidak terhitung jumlahnya. Dalam bentuk majaami, sunan, masanid, ilal, tarikh, ajzaa` dan lain-lain. Hingga, tidak berlalu zaman ini kecuali sunnah seluruhnya telah tertulis. Tidak ada riwayat yang diriwayatkan secara verbal yang tidak tertulis dalam kitab-kitab itu kecuali riwayat-riwayat yang tidak UtamaMuqaddimah Mushahhih Kitab “Ma’rifah Ulum al-Hadis”, al-Hakim al-Muqtarah lii fahmi al-Musthalah, Syaikh DR. Syarif Hatim al-AuniFathul Bariy, al-Hafidz ibnu
proses kodifikasi hadis masa khalifah umar bin abdul aziz